Kamis

Vigan Bagaikan Sebuah Perjalanan Lintas Masa


Dua perempuan itu sibuk memasukkan semacam isian dalam adonan pastry. Lalu menggorengnya dalam wajan penuh minyak mendidih sampai berwarna kecokelatan. "Mau coba Empanada asli Vigan?" sapa salah satu dari mereka. Empanada? Dahi saya berkerenyit. Sebelum disantap, lebih lezat bila dicelupkan lebih dulu dalam kuah yang terbuat dari campuran cabe giling, cuka serta kecap manis.

Citarasa dan wujud camilan khas Vigan ini mirip dengan snack asal Manado yang dinamai Panada. Hanya, teksturnya lebih crispy. Sedang isiannya berupa sayur-sayuran dan cacahan daging sapi atau babi, bukan suwiran ikan seperti khas Sulawesi Utara. Orang-orang Ilocos Sur biasa menyantap cemilan itu untuk mengawali aktivitas sebelum sarapan pagi. Sembari berjalan sepanjang Plaza Burgos di jantung kota Vigan, Empanada sangat mudah didapatkan.

Itulah secuplik pengalaman pertama saya dengan kuliner Vigan. Kota yang laik diberi julukan Lady of The North. Karena cantiknya kota di bagian utara Pulau Luzon, Filipina ini dengan begitu banyaknya bangunan kolonial peninggalan Spanyol yang ia miliki. Jauh-jauh saya menempuh perjalanan dengan bus malam dari Manila, cuma untuk menyaksikan kota kuno kecil yang mendapat label World Heritage Site dari UNESCO itu. Vigan merupakan satu-satunya cagar budaya terbaik di kawasan Asia Timur maupun Tenggara untuk struktur perkotaan di masa kolonialisme Spanyol.

Setelah mencicip Empanada, langkah pun berlanjut ke kedai sebelah yang menggantung sosis-sosis kecokelatan sebagai display. Terlihat begitu menggiurkan, karena masih ada dalam jalinan-jalinan panjang alias belum dipotong per-sosis. Lagi-lagi, makanan ini juga khas milik Vigan. Namanya Longganisa. Saya sempatkan mengintip ke dapurnya, si penjual tengah mencacah daging (umumnya daging babi, tapi mereka menerima request daging sapi asal pesan dua hari sebelumnya) untuk kemudian diberi aneka bumbu spicy serta garam (fungsinya untuk pengasinan) dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis.



Sosis mentah ini lantas diangin-anginkan supaya bumbu meresap rata dalam dagingnya, sembari diangin-anginkan seperti yang saya jumpai di display kedai tadi. Selanjutnya digoreng sebentar agar daging berubah setengah matang. Bila pembeli datang, barulah sosis berderat panjang ini dipotong satu-satu untuk kemudian dipanggang.

Karena hari masih pagi dan matahari belum panas menyengat, saya memilih meneruskan perjalanan ke penginapan dengan jalan kaki. Menyusur jalanan batu alias cobblestones sepanjang Crisologo Street.

Sepanjang ruas jalan itu, berdiri sekitar 180 rumah kuno terbuat dari bata yang menjadi landmark historis kota Vigan, Ibukota provinsi Ilocos Sur. Beberapa di antaranya dibangun oleh para taipan Cina masa lalu. Mereka kondang sebagai pebisnis emas, tembakau serta kain pada abad ke-18. Karenanya, kawasan Crisologo juga dikenal sebagai daerah pertemuan antara distrik Mestizo (orang-orang keturunan Spanyol) dengan distrik Kasaglayan (Pecinan).

Konstruksi bangunan-bangunan ini dibuat dari bata besar, bentuknya tinggi menjulang dengan atap genteng merah. Salah satu bangunan paling kondang adalah milik Calle Mena Crisologo (1844 – 1927), yang punya garis keturunan Tionghoa. Satu lagi adalah museum di kediaman Floro Crisologo, salah satu anggota kongres masa lalu. Tak heran, barang-barang yang dipamerkan di sini adalah memorabilia berupa kliping kiprahnya di pemerintahan Filipina ditambah aneka barang antik dan etnis khas Vigan.


Petualangan ke Masa Silam

Berbincang soal Vigan, kata "berpetualang kembali ke masa silam" tak dapat dihindarkan. Apalagi saat kaki-kaki kuda yang menghela dokar (atau disebut ‘calesa’ dalam bahasa Tagalog) terdengar berkeletuk di atas jalanan batu. Pelancong seakan diantar ke suatu masa di mana listrik dan peranti peradaban modern seperti ponsel bahkan televisi plus radio belum hadir dalam keseharian.

Keasrian nuansa desa bercitarasa Spanyol memang dipertahankan di sini. Bahkan di beberapa tempat, kendaraan bermesin bahkan dilarang lewat. Mulai motor, becak motor sampai Jeepney dan mobil pribadi mesti diparkir di tempat tertentu. Semuanya tak lain adalah tindakan konservasi situs bersejarah kota Vigan.

Katedral Saint Paul’s Metropolitan merupakan landmark utama kota ini. Gereja yang dibuat oleh para pemeluk ordo Agustian ini dibangun selama 10 tahun (1790 – 1800) dengan arsitektur bergaya Earthquake Baroque. Wujudnya bangunan tunggal dari bata yang dicat putih, menggunakan aksen warna kuning pada pilar, jendela hingga pinggiran kusen pintu. Lantas di sebelah kirinya menjulang sebuah tower di mana lonceng gereja dibunyikan pada saat menjelang kebaktian.

Berkunjung ke bangunan cantik Saint Paul serasa membawa kedamaian tersendiri. Langit-langitnya bergaya dome atau lengkung, sementara patung-patung Santo Nino (baca: Santo Ninyo) diletakkan di belakang altar dan di beberapa sudut gereja. Dalam gereja ini, juga terlihat kereta kencana dari keuskupan Vigan yang dibuat dari besi tempa serta sebuah ruang perpustakaan yang menyimpan manuskrip-manuskrip kuno tentang gereja-gereja tua di seantero provinsi Ilocos Sur.



Sementara city center kota Vigan adalah Plaza Salcedo. Nama itu dipetik sebagai kenang-kenangan pada sang pendiri kota Vigan; Juan de Salcedo (1549 – 1576) yang mendirikan koloni Spanyol ini pada 1571. Juan de Salcedo merupakan cucu laki-laki dari Miguel Lopez de Legazpi, pencetus koloni pertama Spanyol di kepulauan Filipina. Sedang Salcedo sendiri lebih banyak berkiprah dalam membangun kota-kota pendudukan Spanyol di Pulau Luzon. Nama ‘Vigan’ diberikan oleh Salcedo, saat ia menemukan di tempat ini banyak dijumpai tumbuhan ‘bigaa’, sebuah species dari familia ‘gabi’.

Dari Plaza Salcedo, perjalanan saya terus berlanjut ke Plaza Burgos. Nama ini dipetik dari Padre Jose Burgos. Seorang tokoh misionaris patriotik ternama asal Vigan. Bersama dua pendeta lainnya, Padre Mariano Gomez dan Padre Jacinto Zamora, ketiganya menjadi martir dan membentuk ‘Gomburza’ yang terinspirasi dari perjuangan pahlawan nasional Filipina, Jose Rizal. Tujuannya adalah sebentuk perlawanan terhadap aksi penjajahan Spanyol.

Setelah keterlibatan mereka dalam pemberontakan di provinsi Cavite pada 1872, ketiganya dihukum pancung di lapangan Bagumbayan, Manila (kini berubah menjadi Taman Luneta) di tahun yang sama. Dan sejak itu pula nama lapangan luas di dekat city center Vigan dinamai merunut nama Padre Jose Burgos.

Waktu sarapan pagi rasanya sudah lewat. Di sisi lain, saat santap siang belum tiba. Tapi karena perut minta diisi kembali setelah beberapa saat lalu mencicip Empanada, saya melangkah ke Gordion Inn. Penginapan kelas ‘bed and breakfast’ yang menyediakan hidangan makan pagi sampai malam. Melangkah melewati ambang pintu, saya langsung jatuh cinta pada tata ruangnya. Sebuah bangunan gaya Spanyol yang dipertahankan keasliannya sebagaimana kota Vigan sendiri.

Bata merah yang menjadi bagian dinding dibiarkan ‘telanjang’ tanpa polesan semen. Lantainya berupa susunan batu pipih yang satu dan lainnya direkat pakai semen. Bagian pintu hingga jendela menggunakan kayu tua, demikian pula seluruh perabotnya. Mulai meja, kursi hingga lemari. Giliran memesan makanan, saya tersenyum simpul. Pilihan saya jatuh pada suguhan one dish meal dengan sajian utama nasi. Di sinilah kecakapan ‘bermain akronim’ dalam bahasa Tagalog diuji.

Nasinya sendiri berupa nasi goreng bawang yang dikenal sebagai sinangag. Paduannya semacam telur orak-arik (omelette) atau bahasa Tagalognya itlog. Itu menu ’bakunya’ dan disebut ’silog’ (sinangag – itlog). Sedang lauk tambahannya, silakan pilih sendiri sembari ’main’ akronim.

Contohnya, kalau ditambah corned beef maka menunya menjadi bernama ’cornsilog’ (corned beef – silog). Bila ditambah potongan ayam goreng, akan menjadi ’chicksilog’. Kalau mau pakai sosis gurih sedap berjuluk longganisa seperti yang saya ceritakan di awal tadi, namanya jadi ’longsilog’. Lalu bila ingin tambah lauk bandeng goreng atau bahasa lokalnya disebut ’bangus’, namanya menjadi ’bangsilog’. Unik, bukan?

Lepas petang, selesai berkunjung ke pemakaman kuno nan apik di sebelah utara Vigan, kembali kesenyapan menyapa. Itu karena night life scene yang hiruk-pikuk tak ada di sini. Gantinya, beberapa terdapat beberapa kafe, khusus ditujukan buat para pelancong. Sektor ini pun, jangan bayangkan ada kemeriahan berlebih. Yang ada sebatas suara para tamu bersenda-gurau, atau beberapa rombongan keluarga yang berwisata beramai-ramai ke kota itu.

Selain Gordion Inn yang memiliki cafe berupa ruang semi terbuka –karena cafe nya dibuat di reruntuhan bangunan yang dibiarkan apa adanya tanpa dipoles rapi kembali—nama kafe Leona di ujung jalan Crisologo banyak didatangi pengunjung. Di sini, saya meneguk teh hangat sembari mengalungkan selimut khas Ilocano --yang dikenal sebagai salah satu suvenir dari Vigan— ke pundak. Mendengarkan aneka lagu rakyat setempat yang dibawakan dengan apik pakai iringan gitar.

Menu malam ini adalah masakan Pinoy favorit saya selama berkunjung ke Filipina. Inihaw na bangus alias bandeng bakar. Citarasanya di sini berbeda dengan yang biasa saya jumpai di Tanah Air. Bangus (bandeng) khas Filpina dibakar setelah dibersihkan dari durinya (boneless) lebih dulu. Dan rata-rata semua masakan dari bandeng di negara itu memang sudah bebas dari duri-durinya. Inihaw na bangus disajikan dengan saus semacam sambal kecap tapi lebih pekat dan pedas. Serta disantap dengan nasi pulen.

Menu lainnya adalah chicken sisig. Cacahan ayam dan hati ayam yang ditumis pakai cabe merah dan aneka bumbu dalam hot plate. Sedang masakan berkuahnya saya pilih sampaloc soup alias sayur asam. Tampilannya mirip tom yam ghoong tapi lebih light karena tidak menyertakan unsur chili oil. Sedapnya! Menu sederhana tapi memanja lidah. Seperti halnya travel back in time saya ke Vigan. Jauh dari Manila, tapi punya kesan begitu mendalam.


HOW TO GET THERE

Jarak Vigan ke Manila kurang lebih 400 km one-way lewat jalan darat. Untuk itu, perlu kesabaran bila ingin bertandang ke sana. Paling tidak, siapkan waktu 8 jam berada dalam bus malam jurusan Manila – Vigan. Misalnya pakai Partas de Luxe Bus.

Tapi kalau ingin lebih praktis, ambil penerbangan lokal Manila – Laoag (tempat kelahiran mantan Presiden Marcos) baru cari bus jurusan Vigan, dengan lama perjalanan sekitar 2 jam.

Selain Vigan sebagai kota kuno, daerah sekitarnya juga menyajikan aneka tourist spot. Seperti Laoag sendiri, dengan maseouleum Presiden Marcos. Atau Banaue, yang terkenal dengan kompleks persawahan bertingkat. Juga Baguio, kota bunga dan tanaman seperti Bandung. Serta Sagada dengan makam gantungnya yang mengingatkan saya pada Rantepao di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Text & photos by Rr Ukirsari Manggalani Soepijono

0 komentar:

Posting Komentar

Untuk tanya-tanya bisa langsung coment di bawah yah gals